62 Hari Sebelum Dua Puluh Delapan

Hi, Le!
Hi, Sya!

Apa kabar, kalian?
Masih dengan mimpi yang sama bukan?

Aku disini sedang tidak baik-baik saja, masih dengan keringat dingin dan sakit di kepala. Hari Rabu lalu badanku tidak ada rasanya, yang kuingat hanya setelah jam makan siang berakhir aku mencoba duduk kembali ke mejaku, isi kepalaku menyempit melihat layar laptop, aku kedinginan, lalu berlari menuju toilet dan muntah sejadi-jadinya. Semua makanan yang masuk sedari pagi keluar semua, pandanganku gelap dan nafasku sesak. Aku menangis tapi tidak bisa melihat apapun di depan mata, telingaku berdengung berusaha mendengar beberapa orang-orang di depanku yang panik berencana mau membawaku ke rumah sakit.

Mereka? Rekan kerja baru di kantor yang baru. Ya, aku pindah kerja.

Awal bulan Juli, aku sering cemas tanpa sebab yang pasti. Sebuah trauma entah dari yang mana, menyerangku 3 hari berturut-turut membuatku tidak tidur tenang. Ada amarah dalam diri mengapa aku sering diabaikan dan ditinggal, ada sosok yang mau membela diriku untuk diangkat kembali.
Kegundahan itu membuatku termotivasi untuk berubah, mencari sesuatu yang baru dengan tanpa alasan pasti. Hal yang paling dekat depan mataku hanyalah bisa mengganti pekerjaan dengan tetap tinggal di Jakarta, atau pulang ke Lampung tanpa pikir panjang.

Keputusanku jatuh pada mengganti karir dan memang sudah waktunya beranjak pergi mencari petualangan lain, aku meninggalkan segala kenyamanan yang kudapat di kantor lama hanya karena ada keinginan diri yang mau berubah menjadi lebih baik dengan mencari peluang pekerjaan yang lebih baik gajinya. Betul, alasan utamaku hanya uang. Di bulan yang sama usaha sampingan yang kujalani terancam bangkrut, Ko afan dan Ko Bayu tidak bisa supply barang lagi karena gudang produksi dan rumahnya kebakaran. Semua barang habis, sementara uang dari mereka bisa membantuku membayar hampir setengah harga kosan.

Pun aku gusar mendengar Ibu yang terus mengeluh perihal kesulitan kami, entah kenapa setelah Bapak tiada justru kebutuhan semakin ada-ada saja. Memang Tuhan Maha Baik, di kegundahan itu pula aku mendapat tawaran pekerjaan dari HRD perusahaan itu langsung yang menawarkannya padaku. Tanpa mencari informasi dan membandingkan terlalu banyak aku mengikuti prosesnya, belajar interview lagi karena kali ini adalah pro-hire bukan seperti dulu baru lulus dari kuliah. Dalam dua minggu mereka memberitahu bahwa aku diterima dengan value yang cukup jauh dari perusahaan lama, HR Manager mereka sangat meyakinkan untuk sudah saatnya aku mendapatkan peluang untuk karir yang lebih baik.

Aku mengambil tawaran itu, di hari yang sama mereka menghubungiku, aku segera memberitahu Mba Yuli. "Mba aku resign ya, aku dapat tawaran lebih baik".

Dengan begitu ambis dan bangganya aku pada diri sendiri, menanyakan beberapa pendapat teman terdekat, dan berdoa meminta petunjuk-Nya untuk tetap yakin resign di saat Mba Yuli dan teman-teman lain menanyakan apakah keputusanku ini bulat atau tidak. Aku tetap mengatakan aku mau resign. Sembari waktu transisi dan mereka mencari penggantiku, segalanya kupersiapkan dengan matang, pekerjaan lama kurapikan. Aku mau meninggalkan kantor lama dengan baik-baik, mengajukan cuti, dan berencana pulang sebentar karena di masa percobaan 3 bulan mendatang aku belum bisa mengambil cuti. Artinya, sampai Desember aku tidak bisa pulang ke Lampung. Maka ada baiknya aku pulang sebentar, meminta restu Bapak dan Mamak, juga Nia dan Ollie.

Aku pulang.
Membawa segudang keluhan dan beban untuk kutinggal di rumah, berharap mendapat kekuatan baru untuk kubawa lagi ke Jakarta sebagai bekal untuk bekerja kembali di tempat yang baru.

Begitu senangnya aku melihat adik yang akhirnya mendapatkan aktivitas baru dengan berjualan brownies, berawal dari punya oven kecil kini oven yang Ia miliki sudah seperti punya toko kue saja. Ibu dan adik bercerita bagaimana adik kewalahan menangani pesanan, karena semuanya dilakukan olehnya sendiri. Ada kehilangan bisnisku, tapi Tuhan ganti di adik. Indah bukan?
Mengurus makam bapak, memilih ayat yang tepat untuk dipajang di sana supaya setiap orang yang berkunjung ke makam Bapak bisa bersukacita karena Ia sudah kembali ke rumah sebenarnya. Meskipun aku masih juga menangis, memamerkan kabar baik itu walau ada keraguan di sana.

Tapi, Ibu sibuk terus mengurusi satu masalah orang yang bahkan belum pernah kukenal sebelumnya. Sulit bagiku merangkai permasalahannya di sini. Setiap harinya Ibu hanya sibuk mengurusinya tanpa mencoba melebur dengan keluarga, membanggakan anak orang lain di hadapanku. Terjawab sudah mengapa sebelumnya jika aku menghubunginya Ia selalu sibuk mau mengakhiri percakapan cepat-cepat, sudah lama memang Ibu tidak pernah menangis dan meratap soal Bapak. Aku bersyukur Ibu berusaha bangkit dengan berjualan terasi, madu, dan bandrek medan dirinya yang dulu pernah bisa melihat seperti pelan-pelan hadir kembali. 

Lalu, ributlah kami bertiga karena bahkan sampai aku mau kembali ke Jakarta Ibu justru sibuk mendatangkan banyak orang ke rumah kami sedangkan ajakan ku untuk makan bersama di sore hari di tempat wisata dekat rumah justru ditolaknya mentah-mentah. Malam itu travel datang menjemput, pulanglah aku dengan pelukan tulus adik yang minta maaf dan sapaan seadanya dari Ibu karena rumah kami sudah banyak orang dan Ia sibuk menanyakan update masalah keluarga itu daripada menghantarku pulang baik-baik.

Sepanjang jalan malam itu, hanya tangisan dan geram tidak bersuara keluar dari diriku.
Aku benci diriku. Benci sekali.
Gagal lagi, tidak pernah cukup.

Keesokan harinya adalah hari terakhirku di kantor lama, seharusnya hari itu jadi hari sukacita untukku pamit ke semua orang baik di sana. Aku menangis seperti bocah yang takut dilepas dengan ikhlas oleh mereka untuk pergi ke dunia luar, padahal hari itu mereka bangga atas keberanianku memutuskan berpetualang lagi. Di hari itu, adalah hari dimulainya muncul sisi pecundangku. Aku seperti mulai menyalahkan keputusanku untuk sok tahu keluar dari perusahaan yang dikelilingi orang baik hanya perkara uangnya saja.

Lalu hari berikutnya adalah hari pertamaku memulai karir di tempat yang baru, dengan semangat yang kupaksakan positif demi melawan diriku yang kemarin sibuk menyalahkan dan menakut-nakuti diriku. Aku bisa bangkit bangun pagi, dan sampai disana. Dengan kepura-puraanku, menyembunyikan perasaan bahwa aku baik-baik saja kepada semua orang. Aku lah si karyawan baru yang semangatnya berkobar-kobar, dari industri mobil masuk ke industri alat kesehatan tanpa pikir panjang. Yang penting, semangat saja.

Beberapa hari di sana aku mulai menemui kesulitan, perbedaan budaya, orang-orang, sistem, kondisi, kenyataan orang yang kugantikan berbuat masalah, spv yang cuek membuatku kecil hati dan sisi diriku yang pecundang muncul kembali. Aku menangis banyak di toilet, anxious setiap siang, mengantuk dan susah mengerti semua yang mereka ajarkan karena tidak berhenti menyalahkan diri, semacam berusaha membuat diriku sendiri menyesal atas keputusan yang telah kubuat. Suara-suara itu jelas sekali:

"Kamu sih sok tahu, ngapain pindah? Susah kan?"
"Tuh, ga enak kan orang-orangnya? Angkuh kan bossmu?"
"Beda kan sistemnya, lu tuh cuma hoki masuk kemarin juga karna dimasukin temen!"

Jahat sekali.

Suara itu tidak henti-hentinya menggangguku.
Setiap Ia menghakimi, kepalaku sakit, pandanganku menyempit, keringat dingin, badan terasa kaku, gemetar, lambat mengerti apapun, membaca apapun harus diulang, berbicara dengan orang lain sulit fokus menyimpulkan.

Aku pun tidak tahu jelas mengapa jadi seperti ini, semangat yang tadinya muncul tanpa alasan pasti tiba-tiba hilang setelah pulang dari rumah dan berganti dengan diri yang mau menyerah dan tidak jadi apa-apa. Setiap aku melihat kebawah dari kantor baruku rasanya mau menjatuhkan diri atau menghilangkan diri saja.

Ini sudah satu hari kemudian sejak aku pulang dari rumah sakit, si anak baru yang baru kerja 7 hari tapi sudah menghabiskan uang hampir 14jt demi menyembuhkan mental dan fisiknya. Aku tidak bisa bilang saat ini sudah sembuh, tapi rasaku lebih baik meskipun masih lemas dan pusing. Tidur siang tadi pun masih gelisah dan tidak benar-benar nyenyak. Membayangkan hari-hari yang seharusnya belajar soal pekerjaan baru tapi malah ku gunakan di rumah sakit pun masih membuatku mual.

Aku belum bisa memulai kerja besok.

Tapi aku mau sembuh, mau pulih lagi.
Dan tidak mau takut lagi.
Aku mau menerima diriku bahwa diriku sedang tidak baik-baik saja.
Perasaan takut ini kiranya memudar pelan-pelan, meskipun aku tidak tahu cara yang tepat bagaimana.

Harapan itu jelas ada, tubuhku masih mencoba bertahan dan mengusahakan.

Aku berharap kantor baru ini mau mengerti dan memberi kesempatan padaku lagi.
Kalau pun aku gagal dan salah lagi, maukah kalian menerima kekuranganku kembali?

Diriku,
Kamu hebat.
Kamu kuat.
Kamu aman.
Aku bangga padamu.
Maaf sudah terlalu keras, nikmati saja. Pelan-pelan ya
Tidak ada yang bisa menyakitimu lagi.



Jakarta,
10.10.2021

Raka Boone

Dalam kedukaanku, aku menamai kamu.
Raka Boone, cahaya bulan yang terberkati

Sebelum menjadi, nasib semua orang memang tidak bisa disamakan
Sama halnya denganmu ataupun diriku
Manusia hanya bisa berusaha dan menebak
Itupun, jika Tuhan mengizinkan
Bentuk usahaku adalah sebuah penyelesaian yang tidak masuk akal
Maafkan keegoisanku, aku tidak akan pernah memintamu mengerti
Aku yang telah salah menyakiti diriku sendiri
Kehadiran dan kehilanganmu, mengingatkanku akan hal itu.

Raka,
Andai ada satu tempat di mana kita bisa bertemu dan bersama tanpa kicauan dunia aku sungguh ingin mendekapmu hangat.
Perasaan ini justru muncul ketika kamu sudah hilang.
Aku harus menyelamatkan banyak orang bukan berdiri untukmu dan diriku.
Ironi memang, dalam penderitaan itu aku justru memikirkan yang lain
dan kamu mengambil bagian besar untuk itu semua bisa tergenapi.

Kamu akan selalu punya tempat di hatiku
Semoga Tuhan bisa mempertemukan kita entah di ruang yang mana
Terbanglah tinggi, kamu pantas dapat tempat yang paling baik
Kelak, aku menanti jawaban kecilmu untuk berbisik langsung kepadaku
Lalu seperti namamu, cahaya bulan memang tidak muncul seharian penuh tetapi menyelamatkan banyak orang. Kebesaran hatimu menegurku, bahkan sebelum kita pernah bertemu

Terimakasih karena mau menyelamatkanku dengan ikut membawa pergi pula sakit itu.
Terimakasih karena mau mengalah,
Terimakasih karena memilihku.

Every sin must be forgiven, every mistake to be forgotten.

To love is to forgive, to constantly understand one another, and accept them as separate human beings from you, but under the same little umbrella.

To love is to forget, to constantly accept that wrong actions are acceptable, and the true value of love comes when you are at peace with your loved one.

Thus, we must address the wrongs, give guidance and encouragement.

We must remind, but not reminisce.

We want to move from past faults, not live in them.

Gone too soon,
Raka Boone, Rest In Peace
You will always be remembered.
I love you - 29.03.2021

I am strong because you are.
Jakarta,
10.04.2021

27 - 2020

Apalah artinya dulu merisaukan umur yang sudah 1/4 abad karena takut pencapaian belum seperti yang diidam-idamkan, kalau nyatanya dua tahun setelahnya kau justru makin menjadi hilang.

Hancur, lebur sekali rasanya.

Kukira aku sudah sampai di ujung penghabisanku, karena jujur saja sejak dihajar sakit virus sialan itu aku sudah jadi manusia yang tidak banyak ingin lagi. Habis tenaga, habis sekali. Satu bulan berjuang dari serangan sakit sana sini, pun mentalku habis dibuatnya. Belum lagi stigma orang-orang yang harus kulawan dan kuamini tanpa perlu alasan, aku tidak tahu seberapa rusak badanku dibuatnya. Sampai menuliskan ini, rasanya nafasku belum seperti biasanya. Ya, aku sempat menyumbangkan peran untuk kesuksesan Covid-19. Jangan tanya bagaimana rasanya, aku sudah lelah bercerita kepada puluhan orang di luar sana yang bertanya soal kronologinya, Andai aku tahu dan bisa melihat partikel virus itu dengan jeli, mungkin waktu satu bulan tidak terbuang sia-sia.

Lalu, sibuk memulihkan diri dan mengembalikan mental pada jalan lurusnya lagi bulan berikutnya di penghujung bulan, aku justru kehilangan Bapakku. Manusia yang memenuhi kepalaku beberapa tahun terakhir ini, karena sudah habis akal rasanya bagaimana bisa membuat Bapak bisa bahagia lahir batin menjalani hidupnya. Aku selalu berprinsip tidak akan membiarkan Bapak meninggal dengan keadaan merasa gagal dalam hidup, aku yang harus mengubah itu semua di atas kakiku. Nyatanya, aku terlambat. Ia sudah tidak di sini. Tepat satu bulan lalu, di pagi hari yang tidak pernah ada di dalam benakku, duniaku kosong dalam hitungan detik. Suara tangisan dan jeritan adik memenuhi kepalaku seperti kecepatan cahaya, tatapanku gelap dan aku menjatuhkan segala barang yang ada di genggamanku. Aku tidak bisa merasakan apapun, aku tidak bisa lari secepat itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bapak pergi begitu saja.

Sama.

Jangan tanya bagaimana Ia bisa pergi, aku pun lelah menceritakan bagaimana itu bisa terjadi sementara aku pun tidak ada di sampingnya waktu Ia memutuskan untuk menyerahkan nyawanya. Aku tahu, bukan kami pemilik sebenarnya. Hanya saja, jika ku bisa mengajukan sebuah petisi kepadaNya, bagaimana bisa Ia menyelamatkanku dari virus sialan itu, sementara setelahnya justru Bapakku yang harus jadi gantinya. Aku tidak pernah ahli dalam kehilangan, tidak pernah bisa tenang. Ku pikir tahun lalu saja cukup membuatku kelelahan atas kehilangan hal-hal yang banyak kukorbankan, kubangun sedemikian rupa, percaya pada kebaikan akan membawa rasa lengkap, tapi pada akhirnya semua hanya singgah bukan milikku. 

Lalu, apalagi tahun ini?

Aku merayakan umur baru dalam kedukaan, persetan dengan umur yang sudah 27 tahun aku tidak menginginkan apapun lagi, yang ku tunggu hanya suara Bapak malam itu tepat tengah malam. Sudah kusiapkan, aku berbohong pada Ibuku supaya Ia tidak perlu menunggu. Aku menyuruhnya tidur lebih awal, tidak perlu telpon tengah malam karena aku hanya menyiapkan ruang dan waktu pada saat itu hanya untuk Bapak saja. Biasanya ada telpon dari Bapak, memang tidak banyak Ia bicara, tapi ucapan Selamat Ulang Tahun darinya sangat kutunggu malam itu, hanya suaranya saja. Tapi Ia tak kunjung tiba, suaranya tak ada. Tak ada doa malam itu, aku hanya menangis sampai kelelahan untuk menyambut pagi, tidak ada sukacita hanya mengingat nasib saja. Aku semakin tidak menginginkan apa-apa lagi.

Curang Bapak, pergi tanpa permisi dan bertanya mampukah aku?

Ah, Pak. Duniawi sekali ya rasanya?

Sementara Bapak sudah bahagia di atas sana, semoga amalku yang tidak seberapa ini bisa sedikit membantu langkah Bapak ke tempat terbaik, kekurangan Bapak mencukupkanku, kelebihan Bapak melengkapiku. Tidak apa Pak, memang mungkin nasib muda kita berbeda. Semoga Tuhan kasihan samaku, mau percaya samaku lagi.

Hari ini hari terakhir dari tahun biadab ini, aku tidak punya modal apapun untuk dibawa ke tahun berikutnya. Bekal di badan yang ringkih ini hanya harapan kiranya Tuhan bisa memberikanku keputusan yang tidak bisa ku ganggu gugat lagi atas nasibku ke depan, tetapi membawa kebahagiaan buat adik atau Ibuku. Aku tidak mampu mengutamakan diriku sendiri lagi, lelah sekali rasanya bertengkar dengan diri sendiri demi mau menjawab: Bahagiakan diri sendiri dulu baru orang lain, tolong dulu diri sendiri baru menolong orang lain. Frasa naif itu tidak bisa kupegang lagi, aku harus hidup buat adik dan Ibuku.


Bajingan kau, 2020.



Bandar Lampung,

31.12.2020




Bukan Milik Puan

Butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa tidak semua hal dalam hidup ini dimaksudkan sebagai cerita yang indah. Tidak setiap orang yang menjalin hubungan dengan kita apapun itu bentuknya, yang mungkin kita rasakan begitu dalam dan rasa-rasanya akan terus selalu bersama, bermaksud untuk menjadi rumah di dalam hidup kita, atau menawarkan selamanya. Kadang-kadang, orang datang ke dalam hidup kita untuk mengajari kita cara mencintai; dan terkadang, orang-orang datang ke dalam hidup kita untuk mengajari kita cara bagaimana untuk tidak mencintai. Bagaimana caranya untuk tidak menetap, bagaimana tidak menenggelamkan diri kita lagi.

Aku sudah memiliki cukup jam terbang untuk mengalami hal demikian, demi mencari pengisi hari dan kekosongan dalam hidup. Semudah itu juga mereka bisa pergi hanya untuk meninggalkan pesan bahwa tidak selamanya orang bisa bertahan dengan kisah-kisah pilu hidup seorang perempuan yang berharap menemukan rumahnya atau ada yang sudi membantu hidupnya dapat diperbaiki. Bicara soal rumah, aku tahu pasti memang tidak ada yang kekal dari manusia. Bahagia dengan cara berharap pada manusia bukanlah solusi untuk mendapatkan welas asih dalam hidup, aku sudah mengalami cukup banyak luka untuk memahami hal tersebut. Meskipun kadang, tidak kebal juga. Rasa kecewa dan sakit kadang seusil itu menyentuh hidupku kembali.

Salah dua dari mereka pernah berkata dengan kata-kata yang membuatku tersudut dan memaksaku mengingat apa saja yang sudah kulakukan belakangan ini. Aku yang biasanya sangat toleransi pada manusia-manusia yang mengujar sarkasme, biasanya dapat menyaring apa yang kudengar, tapi tidak kali ini.

Aku tidak mau menghabiskan emosiku untuk membuat pembelaan atas pernyataan mereka berdua, hak mereka juga untuk berkata seperti itu. Aku tidak bisa kontrol hasrat orang lain. Kekeliruanku karena telah menganggap mereka manusia-manusia baru yang bisa menjadi sosok yang saling mendukung apalagi dalam masa pandemi seperti ini, sebagai kawan, bukan yang lain. Aku tidak cukup gila untuk memulai suatu hubungan di atas perbedaan-perbedaan lagi. Cukup sekali saja.

Lalu aku akhirnya sadar, aku yang biasanya menjadi tong sampah hati bisa kelelahan karena menampung segala cerita pilu dari orang-orang dan tidak bisa berkata tidak untuk menjadi kawan pendengar bagi mereka yang kesusahan. Sering juga mungkin bisa memposisikan diri ikut menjadi kebingungan demi mencari solusi dari masalah-masalah mereka. Rasanya ingin selalu ambil peran, merangkum segala kata bijak demi menenangkan mereka.

Kata-kata mereka membuatku tersadar bahwa aku pun sebaliknya, mencari ketenangan berharap orang lain melakukan hal yang sama atas keadaanku. Berharap orang lain mengobati perasaanku. Ternyata cerita-ceritaku menghabiskan energi mereka berdua. Kehadiranku merepotkan mereka, kesusahanku memenuhi dan mengusik keadaan mereka yang mungkin sedang bertolak belakang dengan rasa dan karsa yang kutumpahkan pada mereka. Pada akhirnya, mereka pergi menjauh tanpa kata apapun lagi. Mungkin hanya karena perasaan tidak enak saja, jadi memilih pergi dalam kesunyian. Hak mereka juga untuk pergi, hak mereka untuk memilih menetap atau tidak. Toh, laki-laki memang punya keberuntungan bisa memilih.

Ya, kadang-kadang orang pergi begitu saja, bahkan tidak meninggalkan pesan pasti atas diri mereka yang menyerah dan mau menjauh, tapi tidak apa-apa karena selalu ada pelajaran dibalik itu dan itulah yang penting. 

Itulah yang tersisa.

PSBB in DKI will start by today, welcoming anxiety, loneliness and all of them again.
God, please save us.


Jakarta,

14.09.2020